Jumat, 30 September 2011

Untuk mahasiswa D3 Farmasi

Untuk mahasiswa tingkat 2 D3 Farmasi Poltekkes Ciumbuleuit, silakan tuliskan perbedaan antara DOEN dan DOWA disini.. Met posting :)

Senin, 19 September 2011

Metode Ilmiah

Didin Wahidin
Syifa Mufiedatussalam
(FKIP UNINUS)

Pendahuluan

Secara naluriah, manusia memiliki rasa ingin tahu yang besar, yang sulit untuk terpuaskan. Ketidakpuasan ini antara lain karena seperti yang dikemukakan Maslow manusia memiliki kebutuhan yang secara hierarkhis meningkat sejalan dengan tercapainya kebutuhan yang lebih rendah, dengan kata lain apabila tingkat kebutuhan tertentu tercapai maka dia akan berkeinginan untuk meraih kebutuhan lain yang lebih tinggi. Kemajuan yang pesat di berbagai bidang kehidupan manusia dewasa ini juga merupakan salah satu faktor yang berimbas pada peningkatan kualitas kebutuhan manusia. Hal ini pun baik langsung maupun tidak langsung akan berakibat pada peningkatan kualitas rasa ingin tahu yang meraksuki manusia.
Untuk memuaskan rasa ingin tahunya maka manusia melakukan upaya-upaya, baik itu melalui upaya yang secara sadar dilakukannya maupun upaya-upaya yang kadang tidak disadarinya.
Upaya-upaya yang dilakukan tanpa kesadaran sepenuhnya (artinya tanpa rancangan atau langkah yang jelas) yang kemudian dikenal dengan upaya-upaya non ilmiah itu antara lain melalui praduga, trial and error, intuisi, wahyu, otoritas, mencari ilham, dll., sedangkan upaya yang secara sadar dilakukan dengan mengandalkan proses berpikir yang beralur tertentu (nalar) dengan langkah yang tertentu yakni dilakukan melalui penelitian ilmiah (metode ilmiah) ini dikenal dengan upaya ilmiah.
Upaya-upaya itu akan membuahkan pengetahuan, dan jenis upaya yang dilakukan akan menentukan atau akan menandai apakah pengetahuan itu akan tergolong pengetahuan ilmiah (science) atau pengetahuan non ilmiah (knowledge).
Dalam upaya untuk memenuhi rasa ingin tahu itu banyak jalan yang dapat ditempuh oleh manusia (ways of knowing). Dan masing-masing jalan untuk pemenuhan rasa ingin tahu itu telah mewarnai sejarah panjang kehidupan manusia.
Upaya itu antara lain meliputi: penggunaan mitos, prasangka, intuisi, otoritas ahli, trial and error, common sense, pengamatan indrawi, pengalaman pribadi dan upaya lainnya. Upaya-upaya ini sejauh ini kurang begitu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, antara lain karena hasil dari upaya-upaya tersebut tidak dapat ditelusuri ulang (unreliable) dan besarnya kelemahan-kelemahan dan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki manusia. Bukankah ahli pun bisa salah? Bukankah indera kita terbatas daya inderanya ? Bukankah pengalaman pribadi sangat subjektif ? Bukankah intuisi bisa saja hanya sekedar ilusi ? Lalu apa kunci kemajuan ilmu pengetahuan hingga dapat berkembang pesat seperti sekarang ini? Jawabannya simaklah uraian berikut ini.

Manusia dan Penalaran

Penalaran, seperti yang oleh Rom Harre (1989:58) dikatakan sebagai: “typically a passage of thougt from some given or assumed statements to other” atau Yuyun S.S. (1985:42) menyatakannya sebagai proses berpikir menurut alur kerangka berpikir tertentu, merupakan kunci pembuka gerbang ke arah kemajuan seperti apa yang dicapai oleh manusia sekarang ini.
Penalaran sebagai sebuah kemampuan berpikir, memiliki dua ciri pokok, yakni logis dan analitis. Logis artinya bahwa proses berpikir ini dilandasi oleh logika tertentu, sedangkan analitis mengandung arti bahwa proses berpikir ini dilakukan dengan langkah-langkah teratur seperti yang dipersyaratkan oleh logika yang dipergunakannya. Pernyataan ini akan lebih jelas apabila anda membaca uraian berikut ini.

Macam-macam Penalaran
1. Penalaran Deduktif.
Penalaran deduktif atau juga dikenal sebagai berpikir rasional yang dibidani oleh filosof Yunani Aristoteles merupakan penalaran yang beralur dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum menuju pada penyimpulan yang bersifat khusus. Sang Bagawan Aristoteles (Van Dalen:6) menyatakan bahwa penalaran deduktif adalah: ”A discourse in wich certain things being posited, something else than what is posited necessarily follows from them”. pola penalarannya seringkali kita kenali dengan pola silogisme. Sebagai contoh misalnya kita amati pernyataan-pernyataan berikut ini.
I. Semua manusia akan mati.
II. Peserta latihan penelitian ini adalah manusia.
III. Peserta penelitian ini akan mati.
Pernyataan I kita kenal sebagai premis mayor, pernyataan II adalah premis minor dan pernyataan III adalah kesimpulan. Kesimpulan yang ditarik akan bernilai benar jika kedua pernyataan di atasnya benar, demikian pula sebaliknya.
Banyak sekali kegiatan manusia yang menggunakan penalaran deduktif, sebagai contoh misalnya dokter dalam mendiagnosis penyakit pasiennya, detektif yang menyelidiki masalah kriminal, atau egiatan lainnya, tapi yang harus dicamkan adalah bahwa penggunaan yang banyak bukan jaminan bahwa penelaran deduktif ini dapat dipergunakan tanpa kelemahan-kelemahan. Antara lain misalnya jika salah satu atau kedua premisnya salah maka kesimpulan yang ditarik berdasarkan premis-premis itu akan salah. Kelemahan lainnya adalah bahwa kesimpulan yang ditarik berdasarkan logika deduktif tak mungkin lebih luas dari premis-premisnya, sehingga sulit diharapkan kemajuan ilmupenegetahuan jika hanya mengandalkan logika ini. Selain itu manakala argumen deduktif akan diuji kebenarannya, maka yang mungkin teruji hanya bentuk atau pola penalarannya tapi bukan materi dari premis-premisnya, jadi salah benar premisnya tak dapat diuji.

2. Penalaran Induktif

Penalaran induktif adalah penalaran yang memberlakukan atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum (Smart,1972:64). Penalaran ini lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau empiri. Dengan kata lain penalaran induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.(Suriasumantri, 1985:46). Inilah alasan eratnya kaitan antara logika induktif dengan istilah generalisasi.

Contoh gampang penalaran induktif ini misalnya:
Harimau berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.
Babi berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.
Ikan Paus berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.
................................................................................
Kesimpulan: Semua hewan yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.

Penalaran ini dirintis oleh Prancis Bacon yang tidak puas dengan penalaran deduktif, dan tidak habis pikir mengapa misalnya masalah jumlah gigi kuda saja harus berdebat habis-habisan dengan menggunakan logika deduktif, bukankah pemecahannya sangat mudah? buka saja mulut-mulut kuda lalu dihitung jumlah giginya. (Best,1982: 15)
Bacon merasa bahwa jika kita terus berpijak pada penalaran deduktif semata maka dia akan berputar dari itu ke itu juga sulit untuk maju, namun kitapun harus sadar bahwa induktifnya Bacon bukan tanpa cela, antara lain karena keterbatasan dan ketidaksempurnaan indera; selain itu jika observasi inderawi dilakukan secara acak tanpa berpijak pada kesatuan konsep atau fokus maka kita seolah berjalan dalan kegelapan; pengalaman inderawi merupakan sesuatu yang bersifat tidak pasti sebab suatu fakta tidak memberikan makna untuk dirinya danb tidak menunjukkan hubungan antar mereka tanpa masuknya subjektivitas pengamatnya, jadi apakah fakta semata akan selalu mendasari pengetahuan yang konsisten dan pasti kepada kita ?

3. Penalaran Ilmiah.

Baik penalaran deduktif maupun penalaran induktif keduanya memiliki kebaikan dan kelemahan masing-masing, namun dengan segala kelebihan dan kelemahannya keduanya telah mewarnai babak-babak awal sejarah perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Berpijak pada deduktif semata, ilmu pengetahuan tidak akan maju, demikian pula jika berpijak pada induktif semata ilmu pengetahuanbagai berjalan dalam kegelapan. dengan melihat kelebihan dan kekurangan dari kedua penalaran itu, orang kemudian mencoba memodifikasi keduanya, bahkan kemudian untuk memperbesar keunggulan kedua logika itu dan memperkecil kelemahan masing-masing maka kedua logika itu digabungkan. Upaya penggabungan itu dilakukan oleh Charles Darwin si penggagas teori evolusi saat mencoba membuktikan konsep Malthus tentang struggle for existence yang kemudian menghasilkan teori baru seleksi alam yang terkenal itu. Dalam hal ini Darwin menggunakan penemuan orang lain untuk menemukan teori baru. Inilah sebenarnya essensi dari penggabungan deduktif dan induktif.
Gabungan penalaran deduktif dan induktif inilah yang kemudian memunculkan penalaran baru yang dikenal degan penalaran ilmiah. Mengenai hal ini Herbert L. Searles (Van Dalen, 1973:14) mengungkapkan bahwa: “ Iduction provides the groundwork for hypotheses, in order to eliminate those that are inconsistence with the facts, while induction again contributes to verification of remaining hypotheses”.
Selanjutnya John Dewey (Van Dalen,1973:13) meramu gabungan penalaran tersebut ke dalam langkah-langkah berpikir yang dikenal sebagai berpikir reflektif (reflective thinking). Langkah-langkah berpikir reflektif inilah yang kemudian menjadi cikal bakal metode ilmiah (scientific method).
Anderson (1970:5) mengemukakan urutan langkah-langkah metode ilmiah sbb:
1. Perumusan masalah.
2. Penyusunan hipotesis.
3. Melakukan eksperimen/pengujian hipotesis.
4. Mengumpulkan dan mengolah data.
5. Menarik kesimpulan.

Penalaran ilmiah atau metode ilmiah yang menghendaki pembuktian kebenaran secara terpadu antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual, mengggabungkan penalaran deduktif dan induktif dengan menggunakan hipotesis sebagai jembatan penghubungnya. Dari sinilah lahir alur penalaran ilmiah yang dikenal denga ungkapan : “Logico hypothetico verifikatif” yang kemudian telah melahirkan banyak penemuan ilmiah dan telah memacu perkembangan ilmu pengetahuan ke tingkat yang sekarang ini.
IPA adalah ilmu pengetahuan yang maju dan berkembang karena metode ilmiah dan sampai saat ini ilmuwan IPA tergolong yang paling setia pada metode ilmiah ini.
Metode ilmiah bukan tanpa kekurangan, karena itu tugas anda adalah coba identifikasi apa kelebihan dan kekurangan metode ilmiah ini,

Daftar Pustaka

Anderson, R.D. (1970). Developing Children Thinking through Science, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Best John W. (1982) Metodologi Penelitian Pendidikan, disunting oleh Sanafiah Faisal & Mulyadi. Surabaya:Usaha Nasional.
Harre,Rom (1984) The Philosophies Of Science, Oxford: Oxford University Press.
Smart, Patricia, (1972).Thinking And Reasoning, London: Mc Millan Education Ltd.
Suriasumantri,J.S. (1985).Filsafat Ilmu suatu Pengantar Populer. Jakarta:sinar harapan.
----------------------(1989) Ilmu dalam persfektif Sebuah karangan tentang hakikat Ilmu, Jakarta: Gramedia.
Van dalen, D.(1973) UnderstandingEducational research. New york: Mc Graw Hill Book Co.

ayat hari ini :)

Aku berlindung kepada Allah, dari godaan syetan yang terkutuk.
Dengan nama Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu,, dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi,, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
(Quran Surat Ali-Imron, 133-134)

Maha Benar Allah, dengan segala firman-Nya..

Sabtu, 10 September 2011

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG
KESEHATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan
salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan
sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam
rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia,
serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi
pembangunan nasional;
c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan
kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap
upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga
berarti investasi bagi pembangunan negara;
d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan
wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional
harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan
merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah
maupun masyarakat;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan,
tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat
sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Undang-
Undang tentang Kesehatan yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e
perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk
dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan
alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan
teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan
yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan.
4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional,
dan kosmetika.
5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh.
6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
8. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi,
untuk manusia.
9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang
berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau
metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan
diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan
kesehatan manusia.
11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu,
terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam
bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat.
12. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang
lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi
kesehatan.
13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan
pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.
14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang
ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau
pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat
terjaga seoptimal mungkin.
15. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna
untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuannya.
16. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan
dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu
pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara
empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat.
17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
18. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
19. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang kesehatan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan
perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan,
penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender
dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.
Pasal 3
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomis.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan.
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung
jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
diperlukan bagi dirinya.
Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi
pencapaian derajat kesehatan.
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan
edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung
jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data
kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang
telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 9
(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan,
mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan,
upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan
berwawasan kesehatan.
Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam
upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi,
maupun sosial.
Pasal 11
Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk
mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan
yang setinggi-tingginya.
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat
kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 13
(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program
jaminan kesehatan sosial.
(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB IV
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 14
(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi
penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat.
(2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikhususkan pada pelayanan publik.
Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan,
tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi
masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya.
Pasal 16
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya
di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh
masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Pasal 17
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses
terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan
untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Pasal 18
Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan
mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya
kesehatan.
Pasal 19
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala
bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan
terjangkau.
Pasal 20
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan
kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial
nasional bagi upaya kesehatan perorangan.
(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB V
SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN
Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan
Pasal 21
(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan,
pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu
tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan
pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan,
pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan
Undang-Undang.
Pasal 22
(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan.
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga
kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan
kepentingan yang bernilai materi.
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar
profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh
organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 25
(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau
pelatihan.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung
jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan
dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan
untuk pemerataan pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan
mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan daerahnya.
(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan:
a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
masyarakat;
b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan
c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja
pelayanan kesehatan yang ada.
(4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan
hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga
kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan
pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya
berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib
melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan
penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada kompetensi dan kewenangan sesuai
dengan bidang keilmuan yang dimiliki.
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
Bagian Kedua
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pasal 30
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis
pelayanannya terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah,
pemerintah daerah, dan swasta.
(4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang
berlaku.
(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal 31
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:
a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian
dan pengembangan di bidang kesehatan; dan
b. mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan
kepada pemerintah daerah atau Menteri.
Pasal 32
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan,
baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan
pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien
dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan,
baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak
pasien dan/atau meminta uang muka.
Pasal 33
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan
kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi
manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.
(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan
kesehatan perseorangan harus memiliki kompetensi
manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan.
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang
mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki
kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 35
(1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis
fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin
beroperasi di daerahnya.
(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pemerintah daerah dengan
mempertimbangkan:
a. luas wilayah;
b. kebutuhan kesehatan;
c. jumlah dan persebaran penduduk;
d. pola penyakit;
e. pemanfaatannya;
f. fungsi sosial; dan
g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.
(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk fasilitas
pelayanan kesehatan asing.
(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina,
penelitian, dan asilum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Perbekalan Kesehatan
Pasal 36
(1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan
keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat
esensial.
(2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat,
Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk
pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang
berkhasiat obat.
Pasal 37
(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar
kebutuhan dasar masyarakat akan perbekalan
kesehatan terpenuhi.
(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat
esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan
dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan faktor
yang berkaitan dengan pemerataan.
Pasal 38
(1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan
pengembangan perbekalan kesehatan dengan
memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan terutama untuk obat dan vaksin baru serta
bahan alam yang berkhasiat obat.
(3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, termasuk
sumber daya alam dan sosial budaya.
Pasal 39
Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 40
(1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara
esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat.
(2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap
2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan
dan teknologi.
(3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tersedia secara merata dan terjangkau oleh
masyarakat.
(4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan
kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan
perbekalan kesehatan.
(5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengadakan
pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang mengatur paten.
(6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang
termasuk dalam daftar obat esensial nasional harus
dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga
penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 41
(1) Pemerintah daerah berwenang merencanakan
kebutuhan perbekalan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan daerahnya.
(2) Kewenangan merencanakan kebutuhan perbekalan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap
memperhatikan pengaturan dan pembinaan standar
pelayanan yang berlaku secara nasional.
Bagian Keempat
Teknologi dan Produk Teknologi
Pasal 42
(1) Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan,
diteliti, diedarkan, dikembangkan, dan dimanfaatkan
bagi kesehatan masyarakat.
(2) Teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup segala metode dan alat yang
digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit,
mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan
akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil
komplikasi, dan memulihkan kesehatan setelah sakit.
(3) Ketentuan mengenai teknologi dan produk teknologi
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 43
(1) Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan
berwenang melakukan penapisan, pengaturan,
pemanfaatan, serta pengawasan terhadap penggunaan
teknologi dan produk teknologi.
(2) Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Dalam mengembangkan teknologi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 dapat dilakukan uji coba
teknologi atau produk teknologi terhadap manusia atau
hewan.
(2) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan jaminan tidak merugikan manusia yang
dijadikan uji coba.
(3) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh orang yang berwenang dan dengan persetujuan
orang yang dijadikan uji coba.
(4) Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk
melindungi kelestarian hewan tersebut serta mencegah
dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan
manusia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji coba
terhadap manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
(1) Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi
dan/atau produk teknologi yang dapat berpengaruh dan
membawa risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
UPAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang
terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan
perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
Pasal 47
Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh,
dan berkesinambungan.
Pasal 48
(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui
kegiatan:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kesehatan tradisional;
c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e. kesehatan reproduksi;
f. keluarga berencana;
g. kesehatan sekolah;
h. kesehatan olahraga;
i. pelayanan kesehatan pada bencana;
j. pelayanan darah;
k. kesehatan gigi dan mulut;
l. penanggulangan gangguan penglihatan dan
gangguan pendengaran;
m. kesehatan matra;
n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan
alat kesehatan;
o. pengamanan makanan dan minuman;
p. pengamanan zat adiktif; dan/atau
q. bedah mayat.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sumber daya
kesehatan.
Pasal 49
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya
kesehatan.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan
fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya,
moral, dan etika profesi.
Pasal 50
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan
dasar masyarakat.
(3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan pengkajian dan penelitian.
(4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas
sektor.
Pasal 51
(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu
atau masyarakat.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan
Paragraf Kesatu
Pemberian Pelayanan
Pasal 52
(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 53
(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk
menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan
perseorangan dan keluarga.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan
pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding
kepentingan lainnya.
Pasal 54
(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan
secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata
dan nondiskriminatif.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
Pasal 55
(1) Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan
kesehatan.
(2) Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Paragraf Kedua
Perlindungan Pasien
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian
atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi
mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara
cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan
pribadinya yang telah dikemukakan kepada
penyelenggara pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan
pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan Tradisional
Pasal 59
(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan
tradisional terbagi menjadi:
a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
keterampilan; dan
b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
ramuan.
(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar
dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma
agama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis
pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 60
(1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan
tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus
mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang.
(2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan
dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.
Pasal 61
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mengembangkan, meningkatkan dan
menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang
dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
(2) Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan
kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan,
kepentingan, dan perlindungan masyarakat.
Bagian Keempat
Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit
Pasal 62
(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan
melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi,
atau kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup
sehat.
(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat untuk menghindari atau
mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat
penyakit.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan
menyediakan fasilitas untuk kelangsungan upaya
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
Pasal 63
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
diselenggarakan untuk mengembalikan status
kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit
dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat.
(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau
perawatan.
(3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat
dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.
(4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan
berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan cara
lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 64
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat
dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah
plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya
untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
dikomersialkan.
(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan
dengan dalih apapun.
Pasal 65
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari
seorang donor harus memperhatikan kesehatan
pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan
pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari
hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti
keamanan dan kemanfaatannya.
Pasal 67
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian
organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan
dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 68
(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke
dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau alat
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 69
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan
dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak
ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik
dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk
tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan
reproduksi.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
boleh berasal dari sel punca embrionik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Kesehatan Reproduksi
Pasal 71
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara
fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata
bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan
dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada lakilaki
dan perempuan.
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah
melahirkan;
b. pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan
kesehatan seksual; dan
c. kesehatan sistem reproduksi.
(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan melalui kegiatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 72
Setiap orang berhak:
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual
yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau
kekerasan dengan pasangan yang sah.
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari
diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang
menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan
martabat manusia sesuai dengan norma agama.
c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin
bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan
dengan norma agama.
d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai
kesehatan reproduksi yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 73
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan
sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu,
dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.
Pasal 74
(1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat
promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif,
termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara
aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek
yang khas, khususnya reproduksi perempuan.
(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia
dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu
dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak
dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat
menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau
penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang
kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan
medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat
dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari
hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan
medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari
aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan
ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Keluarga Berencana
Pasal 78
(1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana
dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi
pasangan usia subur untuk membentuk generasi
penerus yang sehat dan cerdas.
(2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin
ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat
dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang
aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Bagian Kedelapan
Kesehatan Sekolah
Pasal 79
(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan
hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar,
tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggitingginya
menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas.
(2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal
atau melalui lembaga pendidikan lain.
(3) Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Kesehatan Olahraga
Pasal 80
(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk
meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani
masyarakat.
(2) Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi
belajar, kerja, dan olahraga.
(3) Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui aktifitas fisik, latihan fisik,
dan/atau olahraga.
Pasal 81
(1) Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan
pendekatan preventif dan promotif, tanpa mengabaikan
pendekatan kuratif dan rehabilitatif.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat.
Bagian Kesepuluh
Pelayanan Kesehatan Pada Bencana
Pasal 82
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya,
fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap
darurat dan pascabencana.
(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang
bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah
kecacatan lebih lanjut.
(4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD), atau bantuan masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 83
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan
pada bencana harus ditujukan untuk penyelamatan
nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan
kepentingan terbaik bagi pasien.
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap
orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki.
Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pelayanan
kesehatan pada bencana diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 85
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan,
baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan
pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan
nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.
Bagian Kesebelas
Pelayanan Darah
Pasal 86
(1) Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan
yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar
dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan
komersial.
(2) Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh
dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi
kriteria seleksi pendonor dengan mengutamakan
kesehatan pendonor.
(3) Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum digunakan
untuk pelayanan darah harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium guna mencegah penularan penyakit.
Pasal 87
(1) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah
dilakukan oleh Unit Transfusi Darah.
(2) Unit Transfusi Darah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau organisasi sosial yang
tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan.
Pasal 88
(1) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan,
pengerahan pendonor darah, penyediaan,
pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian
darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan.
(2) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan
dengan menjaga keselamatan dan kesehatan penerima
darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit
melalui transfusi darah.
Pasal 89
Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah
untuk pelayanan transfusi darah.
Pasal 90
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan
pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
(2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam
penyelenggaraan pelayanan darah.
(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 91
(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
melalui proses pengolahan dan produksi.
(2) Hasil proses pengolahan dan produksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh Pemerintah.
Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Belas
Kesehatan Gigi dan Mulut
Pasal 93
(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi,
pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan
pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat yang dilakukan secara
terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan.
(2) Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi
perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat,
usaha kesehatan gigi sekolah.
Pasal 94
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin
ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat
kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan
terjangkau oleh masyarakat.
Bagian Ketiga Belas
Penanggulangan Gangguan Penglihatan
dan Gangguan Pendengaran
Pasal 95
(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan
pendengaran merupakan semua kegiatan yang dilakukan
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gangguan
penglihatan dan pendengaran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Keempat Belas
Kesehatan Matra
Pasal 97
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya
kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan
matra yang serba berubah maupun di lingkungan darat,
laut, dan udara.
(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan,
kesehatan kelautan dan bawah air, serta kesehatan
kedirgantaraan.
(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan
sesuai dengan standar dan persyaratan.
(4) Ketentuan mengenai kesehatan matra sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Kelima Belas
Pengamanan dan Penggunaan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal 98
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan,
mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan
bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan,
pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan
alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur,
mengendalikan, dan mengawasi pengadaan,
penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 99
(1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta
dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan
dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan,
serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga
kelestariannya.
(2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan
sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya.
(3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan
sediaan farmasi.
Pasal 100
(1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat
dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan,
perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap
dijaga kelestariannya.
(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan
bahan baku obat tradisional .
Pasal 101
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat
tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat
dan keamanannya.
(2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi,
mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 102
(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan
psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep
dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk
disalahgunakan.
(2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 103
(1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan,
mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan
psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau
persyaratan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran,
serta penggunaan narkotika dan psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 104
(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari
bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau
khasiat/kemanfaatan.
(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan
secara rasional.
Pasal 105
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat
harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku
standar lainnya.
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan
kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar
dan/atau persyaratan yang ditentukan.
Pasal 106
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat
diedarkan setelah mendapat izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat
kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan
kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan
memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin
edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau
kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi
dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 108
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Belas
Pengamanan Makanan dan Minuman
Pasal 109
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi,
mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman
yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil
teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin
agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan
lingkungan.
Pasal 110
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan
mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau
yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil
olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang
mengecoh dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya.
Pasal 111
(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk
masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau
persyaratan kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib
diberi tanda atau label yang berisi:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau
memasukan makanan dan minuman kedalam
wilayah Indonesia; dan
e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
(4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan secara benar dan akurat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan
standar, persyaratan kesehatan, dan/atau
membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari
peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 112
Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan
mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian makanan,
dan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109,
Pasal 110, dan Pasal 111.
Bagian Ketujuh Belas
Pengamanan Zat Adiktif
Pasal 113
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat
adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan
membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga,
masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat,
cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang
penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi
dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang
mengandung zat adiktif harus memenuhi standar
dan/atau persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 114
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke
wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.
Pasal 115
(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa
rokok di wilayahnya.
Pasal 116
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang
mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedelapan Belas
Bedah Mayat
Pasal 117
Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantungsirkulasi
dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara
permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat
dibuktikan.
Pasal 118
(1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya
identifikasi.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab atas upaya identifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya identifikasi
mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 119
(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan
pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah mayat
klinis di rumah sakit.
(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau
menyimpulkan penyebab kematian.
(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa
hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat
pasien.
(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang
membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis
mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis
dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan
persetujuan.
Pasal 120
(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu
kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat
anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi
pendidikan kedokteran.
(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang
tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh
keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut
semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya.
(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah
diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya,
dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak
kematiannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 121
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya
dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya.
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan
bedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak
pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada
penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 122
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan
bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh
dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan
perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya
tidak dimungkinkan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
atas tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di
wilayahnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah
mayat forensik diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 123
(1) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat
dilakukan tindakan pemanfaatan organ sebagai donor
untuk kepentingan transplantasi organ.
(2) Tindakan pemanfaatan organ donor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kematian
dan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan
sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika
profesi.
Pasal 125
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana
dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum
ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD.
BAB VII
KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK,
REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT
Bagian Kesatu
Kesehatan ibu, bayi, dan anak
Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga
kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi
yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka
kematian ibu.
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif.
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat
dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan
ibu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 127
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan
ketentuan:
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri
yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri
dari mana ovum berasal;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu; dan
c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara
alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 128
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu
eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan,
kecuali atas indikasi medis.
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga,
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan
penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat
sarana umum.
Pasal 129
(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan
dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan
air susu ibu secara eksklusif.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 130
Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada
setiap bayi dan anak.
Pasal 131
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus
ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan
datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk
menurunkan angka kematian bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak
anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah
dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi
orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan
pemerintah daerah.
Pasal 132
(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh
secara bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
(2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai
dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah
terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui
imunisasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi
dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 133
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar
dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan
yang dapat mengganggu kesehatannya.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya
perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan menyediakan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 134
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau
kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta
menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap
penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diselenggarakan sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 135
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib
menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan
untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh
dan berkembang secara optimal serta mampu
bersosialisasi secara sehat.
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi
sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar
tidak membahayakan kesehatan anak.
Bagian Kedua
Kesehatan Remaja
Pasal 136
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan
untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat
dan produktif, baik sosial maupun ekonomi.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk untuk reproduksi
remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan
kesehatan yang dapat menghambat kemampuan
menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 137
(1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat
memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai
kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan
bertanggung jawab.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam
menjamin agar remaja memperoleh edukasi, informasi
dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat
Pasal 138
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus
ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan
produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan
martabat kemanusiaan.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut
usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
secara sosial dan ekonomis.
Pasal 139
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus
ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan
produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang
cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
secara sosial dan ekonomis.
Pasal 140
Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan
penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138
dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.
BAB VIII
GIZI
Pasal 141
(1) Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk
peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui :
a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai
dengan gizi seimbang;
b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan
kesehatan;
c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang
sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat
bersama-sama menjamin tersedianya bahan makanan
yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan
terjangkau.
(4) Pemerintah berkewajiban menjaga agar bahan makanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi standar
mutu gizi yang ditetapkan dengan peraturan perundangundangan.
(5) Penyediaan bahan makanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara lintas sektor dan
antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota.
Pasal 142
(1) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus
kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut
usia dengan prioritas kepada kelompok rawan:
a. bayi dan balita;
b. remaja perempuan; dan
c. ibu hamil dan menyusui.
(2) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar
angka kecukupan gizi, standar pelayanan gizi, dan
standar tenaga gizi pada berbagai tingkat pelayanan.
(3) Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan
kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam situasi
darurat.
(4) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan
informasi yang benar tentang gizi kepada masyarakat.
(5) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
melakukan upaya untuk mencapai status gizi yang baik.
Pasal 143
Pemerintah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan
dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan
pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi.
BAB IX
KESEHATAN JIWA
Pasal 144
(1) Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap
orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat,
bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang
dapat mengganggu kesehatan jiwa.
(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas preventif, promotif, kuratif,
rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah
psikososial.
(3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa
yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan,
aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan
jiwa sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2).
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk
mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis
masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa
keseluruhan, termasuk mempermudah akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.
Pasal 145
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin
upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan
rehabilitatif, termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di
tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3).
Pasal 146
(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi
yang benar mengenai kesehatan jiwa.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
untuk menghindari pelanggaran hak asasi seseorang
yang dianggap mengalami gangguan kesehatan jiwa.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban
menyediakan layanan informasi dan edukasi tentang
kesehatan jiwa.
Pasal 147
(1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa
merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat.
(2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap
menghormati hak asasi penderita.
(3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa,
digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang
memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 148
(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama
sebagai warga negara.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan,
kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan
lain.
Pasal 149
(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain,
dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan
umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di
fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib
melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas
pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang
terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan
dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu
ketertiban dan/atau keamanan umum.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif
masyarakat.
(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk
pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita
gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
Pasal 150
(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan
penegakan hukum (
hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran
jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang
diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan
oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan
kompetensi sesuai dengan standar profesi.
Pasal 151
Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR
Bagian Kesatu
Penyakit Menular
Pasal 152
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular
serta akibat yang ditimbulkannya.
(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk melindungi masyarakat dari
tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit,
cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk
mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit
menular.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap lingkungan
dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.
(5) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan harus berbasis wilayah.
(6) Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan melalui lintas sektor.
(7) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah dapat melakukan kerja sama
dengan negara lain.
(8) Upaya pencegahan pengendalian, dan pemberantasan
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 153
Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang
aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi
masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular
melalui imunisasi.
Pasal 154
(1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan
mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat
menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemerintah dapat melakukan kerja sama
dengan masyarakat dan negara lain.
(4) Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan
karantina, tempat karantina, dan lama karantina.
Pasal 155
(1) Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan
mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat
menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans
terhadap penyakit menular sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemerintah daerah dapat melakukan kerja
sama dengan masyarakat.
(4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang
memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama
karantina.
(5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan
mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan
jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat
karantina, dan lama karantina berpedoman pada
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 156
(1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian,
dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1), Pemerintah dapat
menyatakan wilayah dalam keadaan wabah, letusan,
atau kejadian luar biasa (KLB).
(2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau
kejadian luar biasa (KLB) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian
yang diakui keakuratannya.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah,
letusan, atau kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau
kejadian luar biasa dan upaya penanggulangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3),
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 157
(1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib
dilakukan oleh masyarakat termasuk penderita penyakit
menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat.
(2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular,
tenaga kesehatan yang berwenang dapat memeriksa
tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan
sumber penyakit lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Penyakit Tidak Menular
Pasal 158
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan
penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang
ditimbulkannya.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan
berperilaku sehat dan mencegah terjadinya penyakit
tidak menular beserta akibat yang ditimbulkan.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan
penyakit tidak menular sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 159
(1) Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan
pendekatan surveilan faktor risiko, registri penyakit, dan
surveilan kematian.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
memperoleh informasi yang esensial serta dapat
digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya
pengendalian penyakit tidak menular.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kerja sama lintas sektor dan dengan membentuk
jejaring, baik nasional maupun internasional.
Pasal 160
(1) Pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat
bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi,
informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko
penyakit tidak menular yang mencakup seluruh fase
kehidupan.
(2) Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik,
merokok, mengkonsumsi alkohol, dan perilaku berlalu
lintas yang tidak benar.
Pasal 161
(1) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular
meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(2) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikelola secara profesional sehingga pelayanan
kesehatan penyakit tidak menular tersedia, dapat
diterima, mudah dicapai, berkualitas dan terjangkau
oleh masyarakat.
(3) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan
penyakit tidak menular.
BAB XI
KESEHATAN LINGKUNGAN
Pasal 162
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan
kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi,
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 163
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak
mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.
(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja,
tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan
kesehatan, antara lain:
a. limbah cair;
b. limbah padat;
c. limbah gas;
d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan pemerintah;
e. binatang pembawa penyakit;
f. zat kimia yang berbahaya;
g. kebisingan yang melebihi ambang batas;
h. radiasi sinar pengion dan non pengion;
i. air yang tercemar;
j. udara yang tercemar; dan
k. makanan yang terkontaminasi.
(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan
lingkungan dan proses pengolahan limbah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB XII
KESEHATAN KERJA
Pasal 164
(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi
pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan
kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
pekerjaan.
(2) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi pekerja di sektor formal dan informal.
(3) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang
berada di lingkungan tempat kerja.
(4) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi kesehatan pada
lingkungan tentara nasional Indonesia baik darat, laut,
maupun udara serta kepolisian Republik Indonesia.
(5) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(6) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan
menjamin lingkungan kerja yang sehat serta
bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.
(7) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas
kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 165
(1) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk
upaya kesehatan melalui upaya pencegahan,
peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga
kerja.
(2) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan
tempat kerja yang sehat dan menaati peraturan yang
berlaku di tempat kerja.
(3) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada
perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan
secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 166
(1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan
pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan,
pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung
seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja.
(2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas
gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh
pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk
perlindungan pekerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2).
BAB XIII
PENGELOLAAN KESEHATAN
Pasal 167
(1) Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat
melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi
kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan,
pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan
masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara
terpadu dan saling mendukung guna menjamin
tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
(2) Pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di
pusat dan daerah.
(3) Pengelolaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuat dalam suatu sistem kesehatan nasional.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB XIV
INFORMASI KESEHATAN
Pasal 168
(1) Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif
dan efisien diperlukan informasi kesehatan.
(2) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi dan melalui
lintas sektor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 169
Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat
untuk memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam
upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
BAB XV
PEMBIAYAAN KESEHATAN
Pasal 170
(1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan
pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan
jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna
untuk menjamin terselenggaranya pembangunan
kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat setinggi-tingginya.
(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sumber pembiayaan,
alokasi, dan pemanfaatan.
(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan sumber
lain.
Pasal 171
(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan
minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran
pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
(2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh
persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di
luar gaji.
(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk
kepentingan pelayanan publik yang besarannya
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran
kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 172
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan untuk pelayanan
kesehatan di bidang pelayanan publ ik, terutama
bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak
terlantar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi
pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 173
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari
swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3)
dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial nasional
dan/atau asuransi kesehatan komersial.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan sistem
jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan
komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 174
(1) Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan
maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan
pembangunan kesehatan dalam rangka membantu
mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif.
BAB XVII
BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN
Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan
Pasal 175
Badan pertimbangan kesehatan merupakan badan
independen, yang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang di
bidang kesehatan.
Pasal 176
(1) Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di Pusat
dan daerah.
(2) Badan pertimbangan kesehatan pusat dinamakan Badan
Pertimbangan Kesehatan Nasional selanjutnya disingkat
BPKN berkedudukan di ibukota Negara Republik
Indonesia.
(3) Badan pertimbangan kesehatan daerah selanjutnya
disingkat BPKD berkedudukan di provinsi dan
kabupaten/kota.
(4) Kedudukan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) berada sampai pada tingkat
kecamatan.
Bagian Kedua
Peran, Tugas, dan Wewenang
Pasal 177
(1) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan
masyarakat dalam bidang kesehatan sesuai dengan
lingkup tugas masing-masing.
(2) BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas dan wewenang antara lain:
a. menginventarisasi masalah melalui penelaahan
terhadap berbagai informasi dan data yang relevan
atau berpengaruh terhadap proses pembangunan
kesehatan;
b. memberikan masukan kepada pemerintah tentang
sasaran pembangunan kesehatan selama kurun
waktu 5 (lima) tahun;
c. menyusun strategi pencapaian dan prioritas
kegiatan pembangunan kesehatan;
d. memberikan masukan kepada pemerintah dalam
pengidentifikasi dan penggerakan sumber daya
untuk pembangunan kesehatan;
e. melakukan advokasi tentang alokasi dan
penggunaan dana dari semua sumber agar
pemanfaatannya efektif, efisien, dan sesuai dengan
strategi yang ditetapkan;
f. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan
pembangunan kesehatan; dan
g. merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif
yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan
pembangunan kesehatan yang menyimpang.
(3) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan
masyarakat dalam bidang kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan
organisasi dan pembiayaan BPKN dan BPKD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Presiden.
BAB XVIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 178
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan
terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara
kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di
bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
Pasal 179
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178
diarahkan untuk:
a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam
memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan;
b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan
upaya kesehatan;
c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas
kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan;
d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk
mendapatkan perbekalan kesehatan, termasuk
sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan
dan minuman;
e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan
standar dan persyaratan;
f. melindungi masyarakat terhadap segala
kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan
masyarakat;
b. pendayagunaan tenaga kesehatan;
c. pembiayaan.
Pasal 180
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah daerah,
dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan
yang telah berjasa dalam setiap kegiatan mewujudkan tujuan
kesehatan.
Pasal 181
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinan diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 182
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat
dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan
dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya
kesehatan.
(2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat
memberikan izin terhadap setiap penyelengaraan upaya
kesehatan.
(3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non
kementerian, kepala dinas di provinsi, dan
kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di
bidang kesehatan.
(4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan
mengikutsertakan masyarakat.
Pasal 183
Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat
tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan
pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan
dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya
kesehatan.
Pasal 184
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 183, tenaga pengawas mempunyai fungsi:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam
kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan
upaya kesehatan;
b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan
dan fasilitas kesehatan.
Pasal 185
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat
dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai
hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas
yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal
dan surat perintah pemeriksaan.
Pasal 186
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau
patut diduga adanya pelanggaran hukum di bidang kesehatan,
tenaga pengawas wajib melaporkan kepada penyidik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 187
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 188
(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif
terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan
kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada lembaga pemerintah
nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau
kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di
bidang kesehatan.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
tindakan administratif sebagaimana dimaksud pasal ini
diatur oleh Menteri.
BAB XIX
PENYIDIKAN
Pasal 189
(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang
kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
kesehatan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
serta keterangan tentang tindak pidana di bidang
kesehatan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
atau badan hukum sehubungan dengan tindak
pidana di bidang kesehatan;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau
dokumen lain tentang tindak pidana di bidang
kesehatan;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau
barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
kesehatan;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
cukup bukti yang membuktikan adanya tindak
pidana di bidang kesehatan.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau
kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga
mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau
kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ
atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik
dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah
dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan
peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan dendan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan
tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program
pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah)
Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196,
Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200
dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan
denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1),
Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198,
Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 202
Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-
Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak
tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
Pasal 203
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 204
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 205
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2009
Oktober 2009
13
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2009
13 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 144
144
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
visum et repertum psikiatricum)
meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang ditujukan untuk meningkatkan derajat
kesehatan indera penglihatan, dan pendengaran
masyarakat.